“Aku mau les bahasa inggris, bang! Aku mau abang yang memboncengku naik sepeda ketempat les!” adikku merengek memintaku untuk memboncengnya memakai sepeda ontel yang baru kubeli dari sahabat dekatku, Iqbal.
“Tapi abang litak1, Lup2!aku meledek sambil menggelitik pinggangnya hingga dia tak dapat menahan geli dan tertawa terpingkal-pingkal.
“Cepatlah, bang! Aku tak mau melewatkan pelajaran hari ini. Hari ini Pak Heri yang mengajar, cuma dia guru les yang paling gaul bang. Aku selalu bersemangat kalau belajar dengan Pak Heri”. Adikku membeo dengan celotehnya yang menggemaskan. Aku tersenyum dan mencubit pipinya.
Sambil berjalan meninggalkannya, aku berkata:
“Tunggu sebentar ya! Abang ambil pesawat jet tempur kita dulu. Tunggu di laman rumah, lup!”.Aku berlalu dengan cepat untuk mengambil sepeda ontelku
“hahaha…” Adikku tertawa ketika melihatku berhenti tepat dihadapannya. Matanya hampir tetutup saat tertawa, pipinya yang montok itu telah mendesak kelopak mata bagian bawahnya untuk tidak terbuka dengan leluasa. Betapa menggemaskan anak ini. Tertawanya telah membuatku bangga menjadi abangnya.
“Ayo cepat, bang! Jangan sampai kita terlambat”.Dengan cepat dia telah berada di atas boncengan sepeda.
“Ayooooo….” Teriakku.
Kami memacu sepeda dengan kecepatan diatas rata-rata. Sekali-kali menikung mobil-mobil, tentu saja mobil yang terparkir di pinggir jalan. Tapi reputasiku sebagai pembalap dadakan harus juga dibuktikan. Aku mempercepat dayungan sepedaku hingga akselerasi maksimum dan akhirnya sepeda motor berwarna merah dihadapan kami pun tersalib dengan sadis. Aku bangga dan menyempatkan diri untuk menoleh kesamping kiriku. Aku saksikan wajah pembalap yang memakai sepeda motor merah itu berang. Aku terkejut karena wajah pemabalap itu mirip sekali seperti Rossi. Tapi aku taksir umur pembalap itu tak jauh beda dari umurku, perbedaan itu mungkin hanya mencapai angka 50. Aku menang, kemenaganku mungkin karena perbedaan angka diatas. Angka 50 membuat pembalap yang berang itu menyebabkan dia tak mampu memacu kendaraannya hingga akselerasi maksimum sepertiku. Aku berkata dalam hati. Rasakan itu wahai Rossi, kini kau kalah oleh seorang pembalap dadakan sepertiku. Habiskan sisa umurmu untuk menangisi kekalahanmu!
“Brakk…darrr…” Ban depan sepedaku membentur mobil yang terparkir di tepi jalan dan…
Aku terbangun dari tidur. Kulihat adikku masih tertidur nyenyak disampingku. Karena terlalu capai oleh mimpi itu aku memutuskan untuk mengambil segelas air minum pelepas dahaga. Aku berjalan terburu-buru dan… “Dugg…” Kening licinku membentur dinding. Aku terbangun. Aku terkejut bukan kepalang, jangan-jangan benturan itu menyebabkanku amnesia. Penyakit yang seringkali menjadi alibi dalam sinetron dan banyak menimpa para koruptor yang akan disidangkan di meja hijau dua jam lagi. Aku mengelus keningku dan lansung mencari-cari alat tulis sebagai media untuk menguji apakah aku telah menderita amnesia akut, berat, sedang atau ringan. Aku tulis namaku diatas kertas itu dan hasilnya mengejutkan. Aku menulis namaku dengan sangat lengkap:
Prof. Dr. Muhammad Ihsan Harys Bachdim bin Hasan Ishak, M.Fil, M.Ed
Aku bertambah bingung dengan level penyakit amnesiaku. Dalam pengetahuanku, penderita amnesia akut sekalipun tak dapat berlaku gila seperti ini. Jangan-jangan ini Amnesia akut gila kuadrat.
1. Litak dalam bahasa jambi berarti letih atau capai
2. Lup adalah singkartan dari Kulup yang berarti panggilan untuk anak laki-laki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar