Tak penting secepat apa kau berjalan, yang terpenting adalah jangan pernah berhenti untuk berjalan. Kutipan ini sederhana namun memiliki filosofi yang dalam.Ada lagi kutipan yang jugamenarik yang aku dapatkan sewaktu aku bersekolah di MTs (sekolah islam sederajat SMP) dahulu.
Pengumuman peringkat terbaik satu sekolah waktu itu. Juara-juara kelaspun disebutkan dan tentu saja aku termasuk salah satu kandidat juara itu, satu-satu kandidat laki-laki pula. Bukan bermaksud menyombongkan diri, mungkin jika aku tak menduduki kursi kandidat waktu itu semua anak laki-laki di sekolahku akan diminta oleh kepala sekolah memakai rok panjang semua, kecuali Rasyid. Mengapa? Mugkin karena dia adalah salah seorang siswa yang seringkali meminjam rok panjang ibunya dirumah. Untuk apa semua itu dialakukan? Kuat dugaanku karena dia adalah anak laki-laki terakhir di keluarga besarnya dan ironisnya bahwa semua saudaranya adalah laki-laki tulen. Ibu Rasyid memimpikan seorang anak perempuan yang cantik ketika mengandungnya. Aku yakin ibunya belum mengenal teknologi USG sewaktu membawa Rasyid dalam rahimnya. Aku merasa bersalah karena tak pernah menyarankan ibunya untuk memeriksakan kandungannya sewaktu hamil, sehingga ibunya takkan terlalu berharap banyak dengan jenis kelamin anaknya yang akan lahir. Tapi apa urusanku? Aku saja belum lahir. Mungkin inilah sifat bawaan lahirku yang seringkali mengurus urusan orang lain. Maka akupun terlahir sebagai seorang yang acapkali mengurus urusan orang lain yang tak punya hubungan denganku. Lalu mengapa Rasyid tak mau memakai rok panjang jika seandainya kepala sekolah benar-benar membuat peraturan rok panjang untuk para siswa laki-laki? Jawaban logisnya adalah dia akan memakai rok mini kesekolah karena sudah terlalu bosan memakai rok panjang ibunya.
“mana yang lebihbaik, 1x3 atau 3x1?” begitu kepala sekolahku memulai wejangan akhir tahunnya saat akan mengumumkan juaras ekolah. Dalam hatiku, pasti kepala sekolah memanen banyak cabe di rapornya ketika duduk di kelas dua sekolah dasar karena bertanya hal bodoh macam itu. Bagiku sama saja 3x1 atau 1x3 hasilnya tetap saja 3. Tak terbantahkan. Hanya orang gila seperti Tableh saja yang akan membantahitu. Karena Tableh telah tenar karena reputasi kegilaannya dikampungku.
“jika kalian para lelaki mau belajar sehari tiga kali maka tidak mungkin akan hanya ada satu orang laki-laki dibarisan ini”. Kepala sekolah menunjukku, yang telah berdiri dalam barisan kandidat juara sekolah.
“Apakah kalian para perempuan setuju apabila saya mewajibkan siswa laki-laki di sekolah kita memakai rok saja?” sontak suara gemuruh setuju dari murid perempuan memenuhi lapangan.Gemuruh itu benar-benar telah merontokkan mental kami para laki-laki.Seperti rontoknya dedaunan di musim kemarau.
“OK, semuanyadiam! Baiklah, akan saya pikirkan dulu peraturan itu. Mungkin ada baiknya saya berkonsultasi dulu dengan menteri pemberdayaan perempuan mengenai peraturan ini”. Kepala sekolah menyunggingkan sedikit senyum, aku mengira bahwa senyum itu adalah senyum hinaan untuk kami para lelaki tak berdaya.
“Seharusnya kalian malu pada diri sendiri karena tidak dapat bersaing dengan siswa perempuan, kalau saja tidak ada satupun siswa laki-laki di barisan ini niscaya saya akan membuat peraturan untuk memakai rok panjang bagi siswa laki-laki, paham kalian?”. Kami para siswa laki-laki hanya dapat tertunduk mendengar setiap kata yang meluncur dari mulut kepala sekolah karena memang tak ada pilihan untuk berbuat lain.
Beliau melanjutkan, “belajar yang baik adalah sehari tiga kali bukan belajar tiga hari sekali, itu maksud dari lebih baik 3x1 daripada 1x3, fahimtum? Dia menekankan kalimat ini dengan logat seperti para dalang wayang. Perkiraanku tak mungkin meleset, dia pasti orang minang tulen. Logat itu mungkin hanya dibuat-buat untuk menutupi siapa dia “sebhenernya”.
Baru aku mengerti maksud kepala sekolahku. Beliau menutup wejangan tersebut dengan mengucapkan
“wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh”
Penutupan ini sekaligus mengindikasikan bahwa peraturan rok panjang bagi siswa laki-laki secara resmi dibatalkan.
Setelah pendistribusian hadiah bagi para pemenang-istilah pemenang memang aku khususkan untuk diriku sendiri yang secara tidak lansung membatalkan peraturan berbau penyimpangan gender tersebut. Teman-temanku banyak yang mengucapkan selamat kepadaku, termasuk Rasyid. Namun diantara teman-temanku yang berjenis kelamin laki-laki hanya Rasyid yang kulihat berwajah sedih. Aku lihat matanya berkaca-kaca seakan menumpahkan air kesedihan dari bola matanya. Aku tak sabar ingin mencercanya dengan pertanyaan klise seorang teman yang pura-pura peduli.
“Mengapa matamu berair, Syid?”
“Aku marah padamu karena kau adalah dalang semua kejadian ini”. Wajahnya seakan-akan ingin murka padaku.
“Dalang? Dalang apa?” Tanyaku lagi.
“Kau yang membuat kepala sekolah membatalkan peraturan itu”. Wajahnya bertambah murka padaku.
Aku terdiam. Sudah kuduga. Dalam hati aku berkata, kau memang telah salah orientasi. Aku seharusnya menceramahi ayahmu karena tak pernah membawa ibumu pada dokter kandungan dan memeriksakan ibumu menggunakan alat berteknologi tinggi bernama USG.
Diluar disorientasi itu aku tetap sibuk mencerna wejangan kepala sekolah tadi. Aku menyimpulkan satu hal menarik hari ini bahwa 3x1 lebih baik dari 1x3. Rasanya aku seperti menemukan hal baru diumurku yang ke 14. Lalu kulihat sampul bukuku, pada halaman belakang sampul kucermati tabel perkalian yang telah disediakan oleh percetakan sampul. Aku mencoret 1x3=3. 1x3=3. Aku menduga pemilik percetakan sampul ini tidak pernah mendapat pelajaran berharga tentang matematika berfilosofi tinggi dari kepala sekolahnya.