Aku mencoba berpikir beberapa hari ini, tidak jelas apa yang aku pikirkan tapi yang kerapkali terlintas dalam pemikiran manusia muda sepertiku ini adalah masalah sex dan cinta-sengaja aku pisahkan sex dan cinta dengan kata “dan” agar terkesan bahwa aku adalah seorang yang masih dapat membedakan mana sex mana cinta walaupun kadang salah aku membedakannya. Namun tidak semua isi kepalaku adalah sex dan cinta, ada hal lain yang tetap aku pikirkan secara berkesinambungan. Kali ini aku berpikir tentang kebohongan. Sepertinya menarik juga memikirkan atau kembali berpikir tentang kebohongan.
Dari hasil penelitian yang pernah aku dengar bahwa manusia normal selain nabi Muhammad berbohong sebanyak empat puluh kali-maaf, ini tidak dapat dijadikan referensi karena aku lupa kapan dan dimana aku mendapat hasil penelitian seperti itu, aku sendiri ragu akan diriku. Diluar kebenaran ataupun ketidakbenaran hasil penelitian yang aku kira datang sendiri kedalam lubuk hatiku itu, ada sesuatu yang patut sekali penulis renungkan khususnya dan pembaca pada umumnya. Kalau memang tidak percaya-seharusnya memang tidak boleh percaya-coba saja bicara pada banyak orang-orang berbeda. Di kampus saja contohnya, saat bertemu dengan teman lama kemudian teman lama itu bertanya, “hei...hello, kamu apa kabar?” jawaban paling tidak beresiko untuk pertanyaan ini adalah “aku baik, alhamdulillah” atau mungkin “hmm...seperti biasa, baik” atau untuk menimbulkan kesan tidak sombong dan peduli kita dapat kembali bertanya tentang kabar teman tersebut-lebih pantasnya disebut basa-basi.
Mari kita tinjau lebih dalam! Saat mengatakan “baik” apakah keadaan kita benar-benar baik? Saya rasa tidak selalu. Mungkin saja saat ditanya soal kabar mengabar tiba-tiba kita muak dengan teman kita tersebut karena mungkin dia bertanya sambil makan enak sementara kita sedang berpuasa mutih tiga hari tiga malam. Atau bisa saja kita sedang dalam masalah besar seperti pindah kampus tanpa sepengatahuan orang tua atau mengaku akan berangkat KKN (Kuliah Kerja Nyata) di kampung D kepada orang tua namun nyatanya melanlang buana ke penjuru kampung orang. dari dua contoh ini tentunya pembaca dapat sedikit banyak bernalar dengan menyesuaikan contoh itu ke dalam konteks kehidupan masing-masing. Dari contoh itu, sangat jelas bahwa keadaan kita tidak baik waktu itu namun coba pikir apa yang meluncur dari bibir manis kita saat menjawab pertanyaan kabar itu. Jawaban “baik”, keadaan “tidak baik”. Apakah ini masih tidak dapat disebut sebuah kebohongan?
Ketika diundang makan dirumah teman dan ditanya apakah masakan ibunya enak atau tidak. Apa yang kita jawab jika rasa masakan ibunya seperti makanan basi? Jawaban dapat dipastikan “hmm...masakan ibu kamu enak” sambil menahan rasa ingin muntah. Lalu coba pikir lagi, apakah kita belum termasuk dalam kriteria seorang pembohong? Jika jawabannya “belum” maka saya akan tetap menulis dan ditambah usaha membaca lebih banyak buku agar tidak menulis ngalur-ngidul lagi macam ini.
Kebohongan terkadang bekerja seperti sebuah pemanis buatan untuk sementara. Kebohongan selanjutnya bekerja seperti silet, pisau, pedang bahkan bom waktu. Kebohongan dapat juga bekerja seperti kapur pada air rawa, bekerja menetralisir asam. Kebohongan yang tepat pada waktunya akan menghasilkan pemanis buatan. Kebohongan yang tidak tepat pada waktunya akan menghasilkan benda-benda tajam yang berbahaya. Lalu kapan kebohongan dapat menghasilkan kapur untuk air rawa? Aku teliti dulu baru kemudian aku menulis lagi.