Rabu, 02 Februari 2011

Buruk Rupa Cermin Dibelah


Sekarang aku telah berdiri di hadapan cermin. Di kamarku tepatnya. Aku bebas melakukan apa saja pada cermin ini. Bahkan jika aku bertanya pada cermin ini akan level kemanisanku maka tak ada satupun orang yang boleh menganggapku gila.  Gila karena mencoba menginterogasi benda mati bernama cermin. Aku sentuh satu-persatu bagian wajahku. Hidung, mata, pipi, dagu dan mulut, semuanya tampak sempurna diciptakan oleh Tuhan. Walaupun menurutku masih ada saja organ yang kurang proporsional. Hidung. Ya…hidung. Diameter lubang hidung yang sedikit melebihi ukuran normal serta tingkat kecuraman hidung yang masih kurang mancung. Namun aku tetap bersyukur karena aku masih memiliki hidung.
Setelah lama mengamati wajahku, kini aku memperhatikan dandananku. Kemeja abu-abu dengan padanan jeans hitam. Jika aku menafikan keberadaan wajahku maka kegagahanku dapat disetarakan dengan model iklan susu kesehatan pria. Diam-diam aku menikmati keindahan diri sendiri. Mungkin inilah yang disebut narsis itu.
Sekarang saatnya aku harus bertindak objektif pada keseluruhan diriku. Aku tak boleh lagi menafikan wajahku dan tak boleh juga berlebihan memuji pakaianku hari ini. Maka sekarang aku melihat diriku secara utuh, dari ujung rambut hingga ujung kuku. Namun apa yang aku dapatkan? Cermin ini seolah tak bergeming. Lama setelah kutunggu barulah dia mulai angkat bicara. Senyumnya sedikit dipaksakan sambil melemparkan penilaian seperti ini.
“Cukup manislah!” hanya itu saja yang mampu cermin katakan tak ada kata lain. Intonasinya pun bernada datar. Imbuhan “lah” diujung itu menegaskan bahwa cermin sama sekali tak puas dengan kemanisanku, tak puas dengan performaku yang mungkin menurut dia biasa-biasa saja. Atau bahkan kurang.
Kutinggalkan saja kamar ini. Terus terang aku kecewa dengan cermin itu. Cermin yang seharusnya mendukung tuannya sendiri sekarang malah berbalik menghianati. Penghianatan itu benar-benar tak dapat kuterima. Karena kekecewaan yang dalam, malam ini aku memutuskan untuk tidak tidur di kamarku sendiri. Aku memilih tidur di ruang tamu agar tak bertemu lagi dengan dia, sang cermin penghianat. Aku harap dengan unjuk rasa kekecewaanku ini padanya dia dapat merubah perangai buruknya itu.
Sebelum tidur, aku menerawang kembali apa yang telah terjadi dari pagi hingga malam sebelum aku tertidur di ruang tamu ini. Memoriku berputar pada semua dialog dengan kekasihku sewaktu dijalan pulang dari kampus tadi siang.
“Sayang, kamu manis sekali!” tadi aku hanya diam saja mendengar pujian itu, walaupun dalam hati aku bahagia.
“Aku serius sayang, kamu memang manis dengan kemeja abu-abu dan padanan jeans hitam ini.” Mendengar pujian tambahan ini hidungku mekar tadi siang. Aku tak kuasa menahan senyum hingga dia mencubit pinggangku karena senyuman itu. Namun aku telah lebih dulu mati rasa, aku tak merasa sakit sama sekali dengan cubitan itu. Aku masih tetap saja bahagia.
Jelas sekali bahwa ada dua kata “manis” dalam dialog itu. Ini membuktikan bahwa kekasihku tidak sekedar memujiku. Pujian ini jelas sekali berlandaskan fakta yang ada bahwa aku memang manis. Namun mengapa cermin di kamarku menilaiku standar? Heh..aku mencium ketidakberesan dalam hal ini. Harus ada pihak yang benar dan salah dalam kasus ini. Aku menyimpan kecurigaan pada kekasihku.
***
“Maaf Pak, saya terlambat! Ban motor saya bocor di perjalanan menuju kampus tadi…” belum sempat mahasiswi itu menjelaskan lebih panjang tentang perihal keterlambatannya, dosen mata kuliah Speaking II itu telah mempersilahkannya masuk. Mahasiswi yang terlambat itu, dialah kekasihku. Dia berjalan menuju kursi kosong disampingku dan lansung menyapaku dengan genit.
“Hai manis…” aku tercekat mendengar sapaan itu. Ini adalah “manis” ketiga yang dia ucapkan untukku. Aku tersenyum namun senyumku terhenti saat mengingat apa yang telah dilakukan cermin penghianat itu kemarin padaku.
“Nanti, setelah mata kuliah ini aku lansung pulang. Ada kerjaan di rumah.” Bisikku di telinganya. Kekasih mengamininya.
Sebenarnya aku tak punya kepentingan apapun di rumah, aku hanya ingin kembali menginterogasi cermin. Apakah kali ini dia akan mengalah padaku? Apakah dia akan mengakui kemanisanku? Aku rasa jawabannya adalah harus.
***
“Jangan menjadi seperti kebanyakan manusia, buruk rupa cermin dibelah. Tak bagus perilaku macam itu. Kekasihmu tak salah menilaimu, baginya kau tetap saja manis bahkan jika kau tak mandi tiga tahun lamanya. Cinta, cintalah yang telah mengubah pandangannya terhadapmu, segala kekuranganmu bahkan tak tampak lagi. Cintamu hadir dalam hatinya untuk melengkapi. Begitulah cara cinta bekerja. Kau harus menyadari semua itu!” Aku yang dari tadi telah siap dengan palu di tangan untuk memecahkan cermin ini tertegun seketika. Awalnya aku berniat memecahkannya jika dia menilai aku tak manis sama sekali namun kata-kata cermin itu benar-benar telah menyadarkanku bahwa tak ada yang salah dalam kasus ini. Kekasihku benar bahkan cermin lebih benar.
Aku sekarang merasa lebih baik. Merasa malu pada cermin juga. Namun setidaknya rasa malu itu tertutupi karena aku telah berhasil dinilai manis walaupun hanya di mata kekasihku. Satu hal yang aku simpulkan sekarang, jika tak ada yang menilaimu manis, gagah, ganteng ataupun cakep maka mintalah nilai pada kekasihmu, jangan sekali-kali pada cermin. Cermin terlalu objektif menilai orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar