Sabtu, 05 Februari 2011

rengekan itu

Ayam-ayam hilir mudik di halaman rumah. Mengais sampah yang masih tertumpuk. Zainab yang baru saja masuk ke dalam rumah buru-buru keluar lagi sambil menggendong anak laki-laki satu-satunya untuk mengusir kawanan ayam yang nakal itu agar tidak lagi mengaisi tumpukan sampah. Karena tumpukan sampah itu adalah hasil sapuan Zainab yang belum selesai. Pagi ini dia menyapu sebagian halaman rumahnya yang mulai berantakan karena sudah seminggu dia acuhkan.
Dengan menggunakan sapu lidi, Zainab kembali mencoba untuk merapikan halaman rumahnya namun belum lagi selesai pekerjaan itu, anaknya kembali merengek meminta digendong. Anak tunggal Zainab yang baru berumur satu tahun dua bulan itu terserang demam mendadak dari tadi malam. Badannya panas tiba-tiba sejak magrib. Merengek kapan saja ia berhasrat untuk merengek, tak kenal waktu dan tempat. Zainab membawanya turun dari rumah panggung, mencoba untuk menenangkannya. Anak itu mereda sejenak namun tak lama kemudian merengek lagi. Zainab hampir putus asa. Sendi-sendinya seolah meregang menahan kekesalan. Kesal pada rengekan anaknya yang tak kunjung usai. Ajaibnya, disaat Zainab telah memasuki fase kekesalan seperti ini anaknya tiba-tiba saja diam seolah mengerti akan penderitaan ibunya. Rengekan anak Zainab membuat hatinya resah. Walaupun terserang demam, tak biasanya anak itu merengek seperti ini. Anak itu seperti menyimpan firasat yang kurang baik dalam rengekannya.
Zainab tersenyum saat melihat seorang lelaki yang berjalan menuju rumahnya. Besar dan tinggi badan lelaki itu. Dia adalah suami Zainab. Jamal namanya. Begitu Jamal mendekati Zainab, sang anak lansung memutar badan dan mengulurkan tangan pada ayahnya. Berteriak girang dan melonjak-lonjak sambil menerpa Jamal. Jamal menyambut anaknya lalu mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke udara. Semakin menjadilah tawa girang sang anak.
“Banyak nian ikan yang ayah dapatkan hari ini. Ikan Serapil dan Sepat. Mau dimasak apa, Yah? Tempoyak?” Tanya Zainab pada suaminya.
Dengan sedikit anggukan Jamal, Zainab tak membuang tempo lagi. Dia meniti tangga dengan cepat agar dapat dengan segera membersihkan ikan-ikan itu di dapur untuk kemudian meramunya menjadi hidangan makan siang yang lezat. Tempoyak. Menu favorit suaminya.
Keluarga kecil ini tengah menyantap hidangan makan siang. Zainab memangku anaknya. Zainab memperhatikan air muka suaminya. Seperti ada yang hilang dari suaminya. Zainab memberanikan diri untuk bertanya.
“Apa gerangan hal yang terjadi pada ayah? Ayah Nampak tak bernafsu untuk mengunyah nasi dan lauk. Apa ada yang kurang dari masakan ibu?”  Tanya Zainab pelan. Ditatapnya wajah Jamal dalam-dalam.
Jamal mencoba menjalin kata-kata dari mulutnya. Berat sekali jalinan itu namun akhirnya keluar juga satu persatu. Pelan namun pasti.
“Nab, nampaknya aku harus pergi merantau. Aku tak sanggup bekerja seperti orang kampung ini, aku tak pandai berdagang. Menjadi nelayan hanya akan menimbulkan gunjingan dari orang-orang.”
Zainab bagai mengunyah batu mendengar kata-kata dari Jamal. Pada kenyataannya, menjadi nelayan di kampung Zainab adalah lambang sebuah kestatisan, ikon kesuraman masa depan karena ikan-ikan dapat dengan mudah ditangkap bahkan oleh tangan anak-anak berumur tujuh tahunan sekalipun. Tuhan sepertinya telah memberkati sungai di kampung Zainab dengan ikan yang melimpah. Mungkin karena limpahan nikmat Tuhan inilah orang-orang kampung lebih memilih untuk berdagang daripada menjadi nelayan. Saking melimpahnya nikmat itu orang-orang kampung tak perlu menghabiskan waktu lama di sungai untuk menangkap ikan, tinggal memasang perangkap ikan bernama tembila  lalu pulang ke rumah dan kembali lagi ke sungai untuk mengangkatnya dan ikanpun didapat dengan mudah.
“Kemana ayah akan merantau? Lalu bagaimana nasib Kulup, anak kita? Tak ada sosok yang dapat dia panggil sebagai ayah.”
Zainab berhenti makan dan membasuh tangannya. Dia menyadari kekurangan suaminya yang tak mahir dalam urusan jual-beli. Suaminya tak pandai berdagang. Namun hatinya masih berat jika harus melepaskan suaminya pergi merantau. Zainab tak rela Kulup dibesarkan tanpa mengenal sosok sang ayah. Zainab mencoba untuk menawarkan pilihan lain.
“Mengapa ayah tak mencoba untuk membuat kebun sayur, menanam ketimun, kacang panjang atau jagung seperti Wak Jamain?“
Bibir Jamal tertahan untuk berujar. Kata-katanya berantakan di kerongkongan. Bukan istrinya yang membuat dia berat meninggalkan kampung namun Kulup-lah yang menjadi alasan dia untuk tetap tinggal.
***
Rengekan Kulup membangunkan Zainab. Rengekan itu memecah kesunyian kampung. Memecah redupnya cahaya lampu minyak tanah yang diandalkan penduduk kampung untuk menjadi penerang di malam hari. Zainab lagi-lagi harus meladeni rengekan anaknya, pegal hatinya. Dilihatnya suaminya tidak ada di kamar lalu Zainab keluar menuju ruangan tengah, suaminya juga tidak ada. Sambil menggendong Kulup yang masih merengek, Zainab menuju beranda rumah. Dilihatnya Jamal sedang menghisap lintingan tembakau. Jamal membuang lintingan yang hampir menemui ajalnya itu saat melihat istrinya menggendong buah hati mereka. Kulup serta merta menghentikan rengekannya saat Jamal mencoba mengambilnya dari gendongan Zainab. Anak itu seakan menemukan ketenangan dalam pelukan ayahnya. Mungkin karena tahu rencana ayahnya yang akan pergi meninggalkannya untuk merantau, Kulup seringkali merengek akhir-akhir ini. Seakan dia tidak meridhai rencana ayahnya itu. Ikatan batin yang kuat antara anak dan ayahnya itu terbentang menampung semua firasat Kulup.
“Apakah niat ayah untuk merantau itu sudah bulat? Apa ayah tidak kasian dengan Kulup?” Zainab kembali mempertanyakan niat Jamal untuk merantau.
Aku merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik untuk kita bertiga, Nab. Aku akan mengirimkan nafkah untuk kalian secara rutin dari negeri perantauanku nanti.” Zainab hanya terdiam pahit mendengar pernyataan Jamal itu. Nampaknya niat Jamal untuk merantau tak dapat lagi dia cegah.
***
Pagi ini mentari bersinar. Cerah sekali. Pagi yang indah untuk memulai kehidupan di kampung kecil ini. Namun sinar mentari bagai badai saja bagi Zainab. Hari yang cerah hanya akan mempercepat keberangkatan Jamal untuk merantau. Hati Zainab tak rela dengan cerahnya hari, dia lebih rela badai saja yang melanda kampung ini agar suaminya mengurungkan niatnya. Namun mentari berkata lain.
Jamal telah siap dengan kopernya. Hatinya berat untuk pergi ketika memandang wajah kecil Kulup, anak itu belum tahu apa-apa. Jamal melangkah, Kulup meraung tak rela ditinggalkan. Tangan kecil Kulup meminta dirangkul oleh ayahnya. Jamal memeluk anaknya. Raungan itu mereda seketika. Saat Jamal menganggap anaknya sudah siap berpisah dengan dirinya, Jamal melangkah menuruni tangga rumahnya. Jamal berjalan setengah berlari, Kulup kembali meraung. Jamal tak mengacuhkan, dia terus melangkah. Pipi Zainab basah oleh air mata menyaksikan langkah Jamal dan mendengar raungan Kulup. Zainab memeluk Kulup dan Kulup terus saja meraung. Dalam jarak yang tak jauh dan raungan anaknya masih terdengar sayup-sayup oleh Jamal, hati Jamal seakan pecah mendengar suara anak itu. Air mata Jamal tak terbendung. Dia memutar langkah dan berlari menuju rumahnya. Menuju anak dan istrinya. Didekapnya Zainab dan Kulup. Air mata mereka membanjiri rumah, halaman bahkan kampung ini.
Kulup tertidur, energinya terkuras karena terus meraung pagi ini. Jamal menuruni tangga, diam dan mengendap. Dia takut langkah kakinya dapat membangunkan anaknya. Langkah Jamal berat, melihat istrinya melambaikan tangan untuknya. Namun setelah itu dia tak lagi melihat kebelakang. Dia membiarkan takdir yang menuntun langkah kakinya yang berat itu. Sepanjang jalan menuju perantauan mulutnya tak berhenti berdoa dan mengucapkan salam perpisahan pada tanah kelahiran istrinya itu.
***
Badai yang Zainab harapkan turun untuk menghalangi langkah Jamal kini berbalik menyerang hati dan pikirannya. Serangan badai itu berupa rasa sepi, rindu dan ketakutan. Zainab duduk termenung di kamar, tangannya mengelus ubun-ubun Kulup. Hampa saja rasanya elusan itu. Lalu Zainab keluar dari kamar dan dia hanya menyaksikan bayangan-bayangan Jamal dalam pikirannya, berkelebat. Kemudian pecah berhamburan di lantai rumah.
***

Tempoyak adalah daging durian yang dipermentasikan selama beberapa hari dalam wadah tertutup. Hasil permentasi itu biasanya digulai dengan ikan.
Serapil adalah Salah satu jenis ikan yang banyak hidup di anak Sungai Batang Hari, rawa dan danau di Jambi, bentuknya sedikit mernyerupai ikan gurami. Dalam ukuran yang melebihi tiga jari orang dewasa. Ikan ini biasa disebut Tebakang
Sepat adalah Salah satu jenis ikan yang hidup satu habitat dengan ikan serapil
Tembila, Salah satu jenis perangkap ikan
Kulup adalah Panggilan untuk anak laki-laki dalam Kebudayaan  Jambi
Wak adalah Panggilan untuk saudara laki-laki maupun perempuan yang lebih tua dari ayah dan ibu. Atau dapat juga sapaan untuk semua orang yang kita anggap lebih tua dari ayah dan ibu kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar