Aku duduk di ruangan tengah, duduk sambil menopang dagu. Ayah hilir mudik dihadapanku. Ingin aku mengajak ayah bicara namun aku tak tahu dari mana aku harus memulai pembicaraan. Walaupun kami tak saling bicara, aku tahu benar apa yang ada dalam pikiran ayah. Harap-harap cemas, hanya itu kata-kata yang cocok untuk menggambarkan situasi yang sedang mengerubungi ayah. Setelah hampir satu jam di ruang tengah, kami tak melakukan apa-apa kecuali hanya diam dan bergelisah ria.
Kali ini ayah mencoba melangkah masuk kamar namun tubuhnya seakan-akan terpental ketika membuka pintu. Maka ayah pun duduk di sampingku sekarang. Ditatapnya mataku, mencoba tersenyum namun aku tak tega melihat senyum itu, senyum ayah terlalu dipaksakan. Masam jadinya dan aku –terus terang-aku tak suka.
“Ayah dak nyoblos?” tanyaku. Hari ini adalah tanggal 29 mei 1997. Hari dimana pemilihan umum dilansungkan di Negaraku tercinta dan tersayang, Republik Indonesia. Tidak banyak yang aku tahu tentang politik namun yang aku tahu dengan jelas dari percakapan orang-orang dewasa bahwa Soeharto akan memerintah lagi. Mengapa dia akan memerintah lagi? Apakah tak ada manusia lain yang dapat memimpin di republik ini? Tanyaku dalam hati.
“Nanti saja!” jawab ayah singkat. Jawaban singkat itu sudah kupahami. Jawaban singkat itu berarti ayah sedang menunggu sesuatu yang penting. Apakah sesuatu yang penting? Sesaat lagi kalian akan tahu.
Kulihat jam dinding dan dia seolah berbicara. Apa lihat-lihat? Seperti tidak senang saja dia kulihat. Ketidaksenangan mungkin muncul karena dari tadi aku terlalu sering aku memandanginya. Aku melirik dengan cepat ke arah jam dinding, aku berhasil mencuri pandangan dan mencuri informasi dari jam dinding. Jarum pendek antara angka satu dan dua. Jarum panjang tepat pada angka lima. Aku harus bermain dengan anak-anak tetanggaku tepat pada saat jarum panjang di angka enam nanti. Karena aku telah berjanji pada mereka dari kemarin.
“Ayah, aku keluar dulu ya?” Aku permisi keluar pada ayah karena kulihat dari jendela beberapa anak-anak ingusan telah berkejar-kejaran. Sepertinya mereka memang sengaja berkejar-kejaran di depan rumah untuk memancingku agar segera keluar dari kediaman. Teknik busuk mereka bekerja sempurna. Aku tak tahan godaan itu.
Aku dan teman-temanku berlari menuju sungai kecil yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari rumah. Musim kemarau tahun ini membuat sungai menjadi area bermain yang sangat ideal bagi kami. Namun sungai tak dapat dijadikan tempat berenang lagi musim kemarau ini, air beriak dan hanya mampu membasahi lutut anak-anak seumuran kami. Belum puas kami bermain-main, hatiku tiba-tiba teringat pada ayah. Aku segera meninggalkan teman-temanku tanpa bicara apa-apa. Berlari menuju rumah.
Terdengar suara bayi menangis dari halaman rumahku. Aku buru-buru masuk kamar. Kulihat ayah sedang azan di telinga bayi itu. Wajah ayah begitu sumringah dan puas atas kelahiran anak laki-laki keduanya. Ibu terbaring lemas bersimbah darah. Paman, bibi dan kakek berdiri mematung memandangi bayi itu yang tidak lain adalah adikku. Aku rasa semua orang dalam kamar ini memiliki perasaan yang sama denganku. Bahagia. Kami telah kedatangan anggota keluarga baru. Itu artinya predikat sebagai anak tunggal akan segera aku tanggalkan. Namun itu tak membuat rasa bahagiaku surut walaupun aku harus berbagi harta warisan nantinya dengan dia. Apalah arti harta warisan yang harus pecah dua bila dibandingkan dengan kebahagiaan memiliki seorang adik laki-laki. Walaupun aku harus berbagi kasih sayang ayah ibu, aku tak sedih sedikitpun. Apalah artinya kebahagiaan ayah ibu yang harus dibagi dua bila dibandingkan dengan kebahagiaan saling berbagi nantinya dengan adikku. Bukankah dunia ini akan terasa bahagia jika kita saling berbagi dan melengkapi?
Dukun beranak yang membantu persalinan ibu berbisik di telinga bibiku. Setelah bisikan itu, bibi meminta kami semua untuk keluar dari kamar. Tinggallah dukun beranak, ibu dan ayahku dalam kamar. Aku cemas, dan bertanya dalam hati, mengapa kami tak boleh berada dalam kamar bersama adik? Tapi aku tak bertanya pada orang-orang yang harus berada diluar kamar. Karena aku tahu betul jawabannya jika aku bertanya demikian. “ini urusan orang dewasa” atau “anak kecil belum boleh tahu”.
Dua jam paman, bibi dan aku duduk di ruang tengah. Semua memandangi jam dinding. Kali ini jam dinding tak berani ketus padaku karena aku sedang didampingi oleh orang yang lebih tua dariku. Wajah jam dinding itu kecut dan takut. Nampaknya jam dinding ini tak berani macam-macam dengan orang yang lebih besar dariku, dia hanya berani pada anak kecil tak berdaya dan tak punya kuasa. Kelakuan jam dinding ini mirip dengan kelakuan orang-orang berpangkat di Negara Indonesia tercinta, mereka hanya berani garang menegakkan hukum pada orang-orang kecil tak berdaya dan tak berkuasa sementara pada orang-orang besar dan berpangkat mereka menutup telinga dan pura-pura tidak tahu.
Ayah keluar dari kamar, matanya merah, wajahnya pahit seperti menahan kekecewaan. Bibi buru-buru masuk kamar disusul paman dan kakek. Aku membuntut di belakang kakek. Kulihat wajah ibu, matanya mengalirkan air kesedihan. Kesedihan yang tumpah ruah dari dalam lubuk hatinya. Tak tahan aku melihat ibu menangis aku pun ikut menangis. Aku peluk tubuh ibu yang terguncang sesegukan menahan tangis itu. Tak ada yang membuatku sedih selama ini kecuali melihat ibu menangis. Rasanya langit seakan runtuh ketika ibu bersedih.
Kakek mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Sesuatu di dunia ini begitu cepat berubah dan berputar. Belum genap setengah hari aku menunggu kelahiran adik dalam keadaan harap-harap cemas. Kemudian bahagia muncul tanpa aba-aba menghampiri rumah kami bersamaan dengan kelahirannya. Namun lihatlah sekarang, bahagia itu pergi secepat kedatangannya. Adikku pergi untuk selamanya, takkan kembali lagi. Dia hanya dizinkan hidup selama dua jam. Dia pergi sebelum diberikan kesempatan untuk berbagi denganku. Padahal aku begitu rela menerima kehadirannya. Aku ikhlas mendampingi dia sebagai kakak. Namun dalam hidup ini, keikhlsan menerima saja tidak cukup tanpa ada keikhlsan memberi. Keikhlasan menerima kedatangan tidak berarti apa-apa tanpa keikhlasan menerima kepergian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar