Minggu, 13 Februari 2011

hanya gumaman

Mengapa hari-hari ini terasa semakin berat? Hatiku terus bertanya tiada henti akhir-akhir ini. Semakin banyak hatiku bertanya rasanya semakin banyak pula aku kehilangan semangat hidup. Apakah ini pertanda bahwa aku adalah orang yang hanya dapat memulai sebuah perjalanan kemudian tersesat dan hanya pasrah dalam kesesatan? Oh tidak! Sungguh bukanlah mauku seperti itu. Aku tak ingin keadaan mengalahkanku. Aku ingin mengubah keadaan yang sulit dalam nyata namun menjadi nyaman dalam kepala. Sejuk bersahaja bersama ide. Hidup berdampingan dengan akal dan nurani walaupun dunia sesungguhnya kadang lebih kejam dari ibu tiri.
Yah, hidup kadang memang tak memihak pada kaum lemah. namun apakah selamanya aku akan menjadi manusia cengeng yang hanya dapat merengek padahal sebenarnya aku mampu? Tentu tidak. Aku ingin menepis kecengenganku. Bahwa hidup yang berat terkadang membuat aku menangis adalah hal wajar tapi tangisanku bukan berarti aku cengeng.
Aku bangkit sekarang. Aku akan mencari dimana tempatku akan berdiri tegak kukuh dan menjulang melawan angin dalam keberanian. Selamat  berjuang, Ihsan!

Senin, 07 Februari 2011

menunggu


Aku duduk di ruangan tengah, duduk sambil menopang dagu. Ayah hilir mudik dihadapanku. Ingin aku mengajak ayah bicara namun aku tak tahu dari mana aku harus memulai pembicaraan. Walaupun kami tak saling bicara, aku tahu benar apa yang ada dalam pikiran ayah. Harap-harap cemas, hanya itu kata-kata yang cocok untuk menggambarkan situasi yang sedang mengerubungi ayah. Setelah hampir satu jam di ruang tengah, kami tak melakukan apa-apa kecuali hanya diam dan bergelisah ria.
Kali ini ayah mencoba melangkah masuk kamar namun tubuhnya seakan-akan terpental ketika membuka pintu. Maka ayah pun duduk di sampingku sekarang. Ditatapnya mataku, mencoba tersenyum namun aku tak tega melihat senyum itu, senyum ayah terlalu dipaksakan. Masam jadinya dan aku –terus terang-aku tak suka.
“Ayah dak nyoblos?” tanyaku. Hari ini adalah tanggal 29 mei 1997. Hari dimana pemilihan umum dilansungkan di Negaraku tercinta dan tersayang, Republik Indonesia. Tidak banyak yang aku tahu tentang politik namun yang aku tahu dengan jelas dari percakapan orang-orang dewasa bahwa Soeharto akan memerintah lagi. Mengapa dia akan memerintah lagi? Apakah tak ada manusia lain yang dapat memimpin di republik  ini? Tanyaku dalam hati.
“Nanti saja!” jawab ayah singkat. Jawaban singkat itu sudah kupahami. Jawaban singkat itu berarti ayah sedang menunggu sesuatu yang penting. Apakah sesuatu yang penting? Sesaat lagi kalian akan tahu.
 Kulihat jam dinding dan dia seolah berbicara. Apa lihat-lihat? Seperti tidak senang saja dia kulihat. Ketidaksenangan mungkin muncul karena dari tadi aku terlalu sering aku memandanginya. Aku melirik dengan cepat ke arah jam dinding, aku berhasil mencuri pandangan dan mencuri informasi dari jam dinding. Jarum pendek antara angka satu dan dua. Jarum panjang tepat pada angka lima. Aku harus bermain dengan anak-anak tetanggaku tepat pada saat jarum panjang di angka enam nanti. Karena aku telah  berjanji pada mereka dari kemarin.
“Ayah, aku keluar dulu ya?” Aku permisi keluar pada ayah karena kulihat dari jendela beberapa anak-anak ingusan telah berkejar-kejaran. Sepertinya mereka memang sengaja berkejar-kejaran di depan rumah untuk memancingku agar segera keluar dari kediaman. Teknik busuk mereka bekerja sempurna. Aku tak tahan godaan itu.
Aku dan teman-temanku berlari menuju sungai kecil yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari rumah. Musim kemarau tahun ini membuat sungai menjadi area bermain yang sangat ideal bagi kami. Namun sungai tak dapat dijadikan tempat berenang lagi musim kemarau ini, air beriak dan hanya mampu membasahi lutut anak-anak seumuran kami. Belum puas kami bermain-main, hatiku tiba-tiba teringat pada ayah. Aku segera meninggalkan teman-temanku tanpa bicara apa-apa. Berlari menuju rumah.
Terdengar suara bayi menangis dari halaman rumahku. Aku buru-buru masuk kamar. Kulihat ayah sedang azan di telinga bayi itu. Wajah ayah begitu sumringah dan puas atas kelahiran anak laki-laki keduanya. Ibu terbaring lemas bersimbah darah. Paman, bibi dan kakek berdiri mematung memandangi bayi itu yang tidak lain adalah adikku. Aku rasa semua orang dalam kamar ini memiliki perasaan yang sama denganku. Bahagia. Kami telah kedatangan anggota keluarga baru. Itu artinya predikat sebagai anak tunggal akan segera aku tanggalkan. Namun itu tak membuat rasa bahagiaku surut walaupun aku harus berbagi harta warisan nantinya dengan dia. Apalah arti harta warisan yang harus pecah dua bila dibandingkan dengan kebahagiaan memiliki seorang adik laki-laki. Walaupun aku harus berbagi kasih sayang ayah ibu, aku tak sedih sedikitpun. Apalah artinya kebahagiaan ayah ibu yang harus dibagi dua bila dibandingkan dengan kebahagiaan saling berbagi nantinya dengan adikku. Bukankah dunia ini akan terasa bahagia jika kita saling berbagi dan melengkapi?
Dukun beranak yang membantu persalinan ibu berbisik di telinga bibiku. Setelah bisikan itu, bibi meminta kami semua untuk keluar dari kamar. Tinggallah dukun beranak, ibu dan ayahku dalam kamar. Aku cemas, dan bertanya dalam hati, mengapa kami tak boleh berada dalam kamar bersama adik? Tapi aku tak bertanya pada orang-orang yang harus berada diluar kamar. Karena aku tahu betul jawabannya jika aku bertanya demikian. “ini urusan orang dewasa” atau “anak kecil belum boleh tahu”.
Dua jam paman, bibi dan aku duduk di ruang tengah. Semua memandangi jam dinding. Kali ini jam dinding tak berani ketus padaku karena aku sedang didampingi oleh orang yang lebih tua dariku. Wajah jam dinding itu kecut dan takut. Nampaknya jam dinding ini tak berani macam-macam dengan orang yang lebih besar dariku, dia hanya berani pada anak kecil tak berdaya dan tak punya kuasa. Kelakuan jam dinding ini mirip dengan kelakuan orang-orang berpangkat di Negara Indonesia tercinta, mereka hanya berani garang menegakkan hukum pada orang-orang kecil tak berdaya dan tak berkuasa sementara pada orang-orang besar dan berpangkat mereka menutup telinga dan pura-pura tidak tahu.
Ayah keluar dari kamar, matanya merah, wajahnya pahit seperti menahan kekecewaan. Bibi buru-buru masuk kamar disusul paman dan kakek. Aku membuntut di belakang kakek. Kulihat wajah ibu, matanya mengalirkan air kesedihan. Kesedihan yang tumpah ruah dari dalam lubuk hatinya. Tak tahan aku melihat ibu menangis aku pun ikut menangis. Aku peluk tubuh ibu yang terguncang sesegukan menahan tangis itu. Tak ada yang membuatku sedih selama ini kecuali melihat ibu menangis. Rasanya langit seakan runtuh ketika ibu bersedih.
Kakek mengucapkan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, sesungguhnya segala sesuatu adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Sesuatu di dunia ini begitu cepat berubah dan berputar. Belum genap setengah hari aku menunggu kelahiran adik dalam keadaan harap-harap cemas. Kemudian bahagia muncul tanpa aba-aba menghampiri rumah kami bersamaan dengan kelahirannya. Namun lihatlah sekarang, bahagia itu pergi secepat kedatangannya. Adikku pergi untuk selamanya, takkan kembali lagi. Dia hanya dizinkan hidup selama dua jam. Dia pergi sebelum diberikan kesempatan untuk berbagi denganku. Padahal aku begitu rela menerima kehadirannya. Aku ikhlas mendampingi dia sebagai kakak. Namun dalam hidup ini, keikhlsan menerima saja tidak cukup tanpa ada keikhlsan memberi. Keikhlasan menerima kedatangan tidak berarti apa-apa tanpa keikhlasan menerima kepergian.

Sabtu, 05 Februari 2011

rengekan itu

Ayam-ayam hilir mudik di halaman rumah. Mengais sampah yang masih tertumpuk. Zainab yang baru saja masuk ke dalam rumah buru-buru keluar lagi sambil menggendong anak laki-laki satu-satunya untuk mengusir kawanan ayam yang nakal itu agar tidak lagi mengaisi tumpukan sampah. Karena tumpukan sampah itu adalah hasil sapuan Zainab yang belum selesai. Pagi ini dia menyapu sebagian halaman rumahnya yang mulai berantakan karena sudah seminggu dia acuhkan.
Dengan menggunakan sapu lidi, Zainab kembali mencoba untuk merapikan halaman rumahnya namun belum lagi selesai pekerjaan itu, anaknya kembali merengek meminta digendong. Anak tunggal Zainab yang baru berumur satu tahun dua bulan itu terserang demam mendadak dari tadi malam. Badannya panas tiba-tiba sejak magrib. Merengek kapan saja ia berhasrat untuk merengek, tak kenal waktu dan tempat. Zainab membawanya turun dari rumah panggung, mencoba untuk menenangkannya. Anak itu mereda sejenak namun tak lama kemudian merengek lagi. Zainab hampir putus asa. Sendi-sendinya seolah meregang menahan kekesalan. Kesal pada rengekan anaknya yang tak kunjung usai. Ajaibnya, disaat Zainab telah memasuki fase kekesalan seperti ini anaknya tiba-tiba saja diam seolah mengerti akan penderitaan ibunya. Rengekan anak Zainab membuat hatinya resah. Walaupun terserang demam, tak biasanya anak itu merengek seperti ini. Anak itu seperti menyimpan firasat yang kurang baik dalam rengekannya.
Zainab tersenyum saat melihat seorang lelaki yang berjalan menuju rumahnya. Besar dan tinggi badan lelaki itu. Dia adalah suami Zainab. Jamal namanya. Begitu Jamal mendekati Zainab, sang anak lansung memutar badan dan mengulurkan tangan pada ayahnya. Berteriak girang dan melonjak-lonjak sambil menerpa Jamal. Jamal menyambut anaknya lalu mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke udara. Semakin menjadilah tawa girang sang anak.
“Banyak nian ikan yang ayah dapatkan hari ini. Ikan Serapil dan Sepat. Mau dimasak apa, Yah? Tempoyak?” Tanya Zainab pada suaminya.
Dengan sedikit anggukan Jamal, Zainab tak membuang tempo lagi. Dia meniti tangga dengan cepat agar dapat dengan segera membersihkan ikan-ikan itu di dapur untuk kemudian meramunya menjadi hidangan makan siang yang lezat. Tempoyak. Menu favorit suaminya.
Keluarga kecil ini tengah menyantap hidangan makan siang. Zainab memangku anaknya. Zainab memperhatikan air muka suaminya. Seperti ada yang hilang dari suaminya. Zainab memberanikan diri untuk bertanya.
“Apa gerangan hal yang terjadi pada ayah? Ayah Nampak tak bernafsu untuk mengunyah nasi dan lauk. Apa ada yang kurang dari masakan ibu?”  Tanya Zainab pelan. Ditatapnya wajah Jamal dalam-dalam.
Jamal mencoba menjalin kata-kata dari mulutnya. Berat sekali jalinan itu namun akhirnya keluar juga satu persatu. Pelan namun pasti.
“Nab, nampaknya aku harus pergi merantau. Aku tak sanggup bekerja seperti orang kampung ini, aku tak pandai berdagang. Menjadi nelayan hanya akan menimbulkan gunjingan dari orang-orang.”
Zainab bagai mengunyah batu mendengar kata-kata dari Jamal. Pada kenyataannya, menjadi nelayan di kampung Zainab adalah lambang sebuah kestatisan, ikon kesuraman masa depan karena ikan-ikan dapat dengan mudah ditangkap bahkan oleh tangan anak-anak berumur tujuh tahunan sekalipun. Tuhan sepertinya telah memberkati sungai di kampung Zainab dengan ikan yang melimpah. Mungkin karena limpahan nikmat Tuhan inilah orang-orang kampung lebih memilih untuk berdagang daripada menjadi nelayan. Saking melimpahnya nikmat itu orang-orang kampung tak perlu menghabiskan waktu lama di sungai untuk menangkap ikan, tinggal memasang perangkap ikan bernama tembila  lalu pulang ke rumah dan kembali lagi ke sungai untuk mengangkatnya dan ikanpun didapat dengan mudah.
“Kemana ayah akan merantau? Lalu bagaimana nasib Kulup, anak kita? Tak ada sosok yang dapat dia panggil sebagai ayah.”
Zainab berhenti makan dan membasuh tangannya. Dia menyadari kekurangan suaminya yang tak mahir dalam urusan jual-beli. Suaminya tak pandai berdagang. Namun hatinya masih berat jika harus melepaskan suaminya pergi merantau. Zainab tak rela Kulup dibesarkan tanpa mengenal sosok sang ayah. Zainab mencoba untuk menawarkan pilihan lain.
“Mengapa ayah tak mencoba untuk membuat kebun sayur, menanam ketimun, kacang panjang atau jagung seperti Wak Jamain?“
Bibir Jamal tertahan untuk berujar. Kata-katanya berantakan di kerongkongan. Bukan istrinya yang membuat dia berat meninggalkan kampung namun Kulup-lah yang menjadi alasan dia untuk tetap tinggal.
***
Rengekan Kulup membangunkan Zainab. Rengekan itu memecah kesunyian kampung. Memecah redupnya cahaya lampu minyak tanah yang diandalkan penduduk kampung untuk menjadi penerang di malam hari. Zainab lagi-lagi harus meladeni rengekan anaknya, pegal hatinya. Dilihatnya suaminya tidak ada di kamar lalu Zainab keluar menuju ruangan tengah, suaminya juga tidak ada. Sambil menggendong Kulup yang masih merengek, Zainab menuju beranda rumah. Dilihatnya Jamal sedang menghisap lintingan tembakau. Jamal membuang lintingan yang hampir menemui ajalnya itu saat melihat istrinya menggendong buah hati mereka. Kulup serta merta menghentikan rengekannya saat Jamal mencoba mengambilnya dari gendongan Zainab. Anak itu seakan menemukan ketenangan dalam pelukan ayahnya. Mungkin karena tahu rencana ayahnya yang akan pergi meninggalkannya untuk merantau, Kulup seringkali merengek akhir-akhir ini. Seakan dia tidak meridhai rencana ayahnya itu. Ikatan batin yang kuat antara anak dan ayahnya itu terbentang menampung semua firasat Kulup.
“Apakah niat ayah untuk merantau itu sudah bulat? Apa ayah tidak kasian dengan Kulup?” Zainab kembali mempertanyakan niat Jamal untuk merantau.
Aku merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik untuk kita bertiga, Nab. Aku akan mengirimkan nafkah untuk kalian secara rutin dari negeri perantauanku nanti.” Zainab hanya terdiam pahit mendengar pernyataan Jamal itu. Nampaknya niat Jamal untuk merantau tak dapat lagi dia cegah.
***
Pagi ini mentari bersinar. Cerah sekali. Pagi yang indah untuk memulai kehidupan di kampung kecil ini. Namun sinar mentari bagai badai saja bagi Zainab. Hari yang cerah hanya akan mempercepat keberangkatan Jamal untuk merantau. Hati Zainab tak rela dengan cerahnya hari, dia lebih rela badai saja yang melanda kampung ini agar suaminya mengurungkan niatnya. Namun mentari berkata lain.
Jamal telah siap dengan kopernya. Hatinya berat untuk pergi ketika memandang wajah kecil Kulup, anak itu belum tahu apa-apa. Jamal melangkah, Kulup meraung tak rela ditinggalkan. Tangan kecil Kulup meminta dirangkul oleh ayahnya. Jamal memeluk anaknya. Raungan itu mereda seketika. Saat Jamal menganggap anaknya sudah siap berpisah dengan dirinya, Jamal melangkah menuruni tangga rumahnya. Jamal berjalan setengah berlari, Kulup kembali meraung. Jamal tak mengacuhkan, dia terus melangkah. Pipi Zainab basah oleh air mata menyaksikan langkah Jamal dan mendengar raungan Kulup. Zainab memeluk Kulup dan Kulup terus saja meraung. Dalam jarak yang tak jauh dan raungan anaknya masih terdengar sayup-sayup oleh Jamal, hati Jamal seakan pecah mendengar suara anak itu. Air mata Jamal tak terbendung. Dia memutar langkah dan berlari menuju rumahnya. Menuju anak dan istrinya. Didekapnya Zainab dan Kulup. Air mata mereka membanjiri rumah, halaman bahkan kampung ini.
Kulup tertidur, energinya terkuras karena terus meraung pagi ini. Jamal menuruni tangga, diam dan mengendap. Dia takut langkah kakinya dapat membangunkan anaknya. Langkah Jamal berat, melihat istrinya melambaikan tangan untuknya. Namun setelah itu dia tak lagi melihat kebelakang. Dia membiarkan takdir yang menuntun langkah kakinya yang berat itu. Sepanjang jalan menuju perantauan mulutnya tak berhenti berdoa dan mengucapkan salam perpisahan pada tanah kelahiran istrinya itu.
***
Badai yang Zainab harapkan turun untuk menghalangi langkah Jamal kini berbalik menyerang hati dan pikirannya. Serangan badai itu berupa rasa sepi, rindu dan ketakutan. Zainab duduk termenung di kamar, tangannya mengelus ubun-ubun Kulup. Hampa saja rasanya elusan itu. Lalu Zainab keluar dari kamar dan dia hanya menyaksikan bayangan-bayangan Jamal dalam pikirannya, berkelebat. Kemudian pecah berhamburan di lantai rumah.
***

Tempoyak adalah daging durian yang dipermentasikan selama beberapa hari dalam wadah tertutup. Hasil permentasi itu biasanya digulai dengan ikan.
Serapil adalah Salah satu jenis ikan yang banyak hidup di anak Sungai Batang Hari, rawa dan danau di Jambi, bentuknya sedikit mernyerupai ikan gurami. Dalam ukuran yang melebihi tiga jari orang dewasa. Ikan ini biasa disebut Tebakang
Sepat adalah Salah satu jenis ikan yang hidup satu habitat dengan ikan serapil
Tembila, Salah satu jenis perangkap ikan
Kulup adalah Panggilan untuk anak laki-laki dalam Kebudayaan  Jambi
Wak adalah Panggilan untuk saudara laki-laki maupun perempuan yang lebih tua dari ayah dan ibu. Atau dapat juga sapaan untuk semua orang yang kita anggap lebih tua dari ayah dan ibu kita

Rabu, 02 Februari 2011

Buruk Rupa Cermin Dibelah


Sekarang aku telah berdiri di hadapan cermin. Di kamarku tepatnya. Aku bebas melakukan apa saja pada cermin ini. Bahkan jika aku bertanya pada cermin ini akan level kemanisanku maka tak ada satupun orang yang boleh menganggapku gila.  Gila karena mencoba menginterogasi benda mati bernama cermin. Aku sentuh satu-persatu bagian wajahku. Hidung, mata, pipi, dagu dan mulut, semuanya tampak sempurna diciptakan oleh Tuhan. Walaupun menurutku masih ada saja organ yang kurang proporsional. Hidung. Ya…hidung. Diameter lubang hidung yang sedikit melebihi ukuran normal serta tingkat kecuraman hidung yang masih kurang mancung. Namun aku tetap bersyukur karena aku masih memiliki hidung.
Setelah lama mengamati wajahku, kini aku memperhatikan dandananku. Kemeja abu-abu dengan padanan jeans hitam. Jika aku menafikan keberadaan wajahku maka kegagahanku dapat disetarakan dengan model iklan susu kesehatan pria. Diam-diam aku menikmati keindahan diri sendiri. Mungkin inilah yang disebut narsis itu.
Sekarang saatnya aku harus bertindak objektif pada keseluruhan diriku. Aku tak boleh lagi menafikan wajahku dan tak boleh juga berlebihan memuji pakaianku hari ini. Maka sekarang aku melihat diriku secara utuh, dari ujung rambut hingga ujung kuku. Namun apa yang aku dapatkan? Cermin ini seolah tak bergeming. Lama setelah kutunggu barulah dia mulai angkat bicara. Senyumnya sedikit dipaksakan sambil melemparkan penilaian seperti ini.
“Cukup manislah!” hanya itu saja yang mampu cermin katakan tak ada kata lain. Intonasinya pun bernada datar. Imbuhan “lah” diujung itu menegaskan bahwa cermin sama sekali tak puas dengan kemanisanku, tak puas dengan performaku yang mungkin menurut dia biasa-biasa saja. Atau bahkan kurang.
Kutinggalkan saja kamar ini. Terus terang aku kecewa dengan cermin itu. Cermin yang seharusnya mendukung tuannya sendiri sekarang malah berbalik menghianati. Penghianatan itu benar-benar tak dapat kuterima. Karena kekecewaan yang dalam, malam ini aku memutuskan untuk tidak tidur di kamarku sendiri. Aku memilih tidur di ruang tamu agar tak bertemu lagi dengan dia, sang cermin penghianat. Aku harap dengan unjuk rasa kekecewaanku ini padanya dia dapat merubah perangai buruknya itu.
Sebelum tidur, aku menerawang kembali apa yang telah terjadi dari pagi hingga malam sebelum aku tertidur di ruang tamu ini. Memoriku berputar pada semua dialog dengan kekasihku sewaktu dijalan pulang dari kampus tadi siang.
“Sayang, kamu manis sekali!” tadi aku hanya diam saja mendengar pujian itu, walaupun dalam hati aku bahagia.
“Aku serius sayang, kamu memang manis dengan kemeja abu-abu dan padanan jeans hitam ini.” Mendengar pujian tambahan ini hidungku mekar tadi siang. Aku tak kuasa menahan senyum hingga dia mencubit pinggangku karena senyuman itu. Namun aku telah lebih dulu mati rasa, aku tak merasa sakit sama sekali dengan cubitan itu. Aku masih tetap saja bahagia.
Jelas sekali bahwa ada dua kata “manis” dalam dialog itu. Ini membuktikan bahwa kekasihku tidak sekedar memujiku. Pujian ini jelas sekali berlandaskan fakta yang ada bahwa aku memang manis. Namun mengapa cermin di kamarku menilaiku standar? Heh..aku mencium ketidakberesan dalam hal ini. Harus ada pihak yang benar dan salah dalam kasus ini. Aku menyimpan kecurigaan pada kekasihku.
***
“Maaf Pak, saya terlambat! Ban motor saya bocor di perjalanan menuju kampus tadi…” belum sempat mahasiswi itu menjelaskan lebih panjang tentang perihal keterlambatannya, dosen mata kuliah Speaking II itu telah mempersilahkannya masuk. Mahasiswi yang terlambat itu, dialah kekasihku. Dia berjalan menuju kursi kosong disampingku dan lansung menyapaku dengan genit.
“Hai manis…” aku tercekat mendengar sapaan itu. Ini adalah “manis” ketiga yang dia ucapkan untukku. Aku tersenyum namun senyumku terhenti saat mengingat apa yang telah dilakukan cermin penghianat itu kemarin padaku.
“Nanti, setelah mata kuliah ini aku lansung pulang. Ada kerjaan di rumah.” Bisikku di telinganya. Kekasih mengamininya.
Sebenarnya aku tak punya kepentingan apapun di rumah, aku hanya ingin kembali menginterogasi cermin. Apakah kali ini dia akan mengalah padaku? Apakah dia akan mengakui kemanisanku? Aku rasa jawabannya adalah harus.
***
“Jangan menjadi seperti kebanyakan manusia, buruk rupa cermin dibelah. Tak bagus perilaku macam itu. Kekasihmu tak salah menilaimu, baginya kau tetap saja manis bahkan jika kau tak mandi tiga tahun lamanya. Cinta, cintalah yang telah mengubah pandangannya terhadapmu, segala kekuranganmu bahkan tak tampak lagi. Cintamu hadir dalam hatinya untuk melengkapi. Begitulah cara cinta bekerja. Kau harus menyadari semua itu!” Aku yang dari tadi telah siap dengan palu di tangan untuk memecahkan cermin ini tertegun seketika. Awalnya aku berniat memecahkannya jika dia menilai aku tak manis sama sekali namun kata-kata cermin itu benar-benar telah menyadarkanku bahwa tak ada yang salah dalam kasus ini. Kekasihku benar bahkan cermin lebih benar.
Aku sekarang merasa lebih baik. Merasa malu pada cermin juga. Namun setidaknya rasa malu itu tertutupi karena aku telah berhasil dinilai manis walaupun hanya di mata kekasihku. Satu hal yang aku simpulkan sekarang, jika tak ada yang menilaimu manis, gagah, ganteng ataupun cakep maka mintalah nilai pada kekasihmu, jangan sekali-kali pada cermin. Cermin terlalu objektif menilai orang.

Arul


Ajakan dari jamaah berjanggut panjang tempo hari di Masjid Darussalam benar-benar telah membuat hati Arul goyah. Terkadang timbul dalam pikirannya untuk segera bergabung dengan jamaah itu namun ketakutannya akan cemoohan masyarakat kerap kali menghantuinya. Jamaah berjanggut panjang itu selalu menjadi buah cemoohan masyarakat akhir-akhir ini. Di warung kopi, di jalan, di pos kamling bahkan di masjid, cemoohan itu seakan tak pernah berhenti menguap dari mulut mereka. Seperti air laut yang menguap menuju langit untuk menjadi awan dan kemudian melahirkan badai. Badai itu bahkan menimpa siapa saja yang mencoba berhubungan dengan jamaah. Termasuk Arul.
Jalan menuju masjid benar-benar lengang siang ini, selain karena orang-orang sibuk menenggelamkan diri untuk bekerja mencari nafkah, masjid juga terletak diujung lorong kampung Arul, tempat dimana tak ada satupun orang kampung yang mendirikan rumah disana. Arul menapaki jalan sambil mengendap-ngendap, matanya tak bersedia diam untuk mengamati kalau saja ada orang yang nanti melihatnya. Hanya satu alasan Arul menuju masjid siang hari ini. Meyakinkan hatinya untuk benar-benar bergabung dengan jamaah.
“Aku ingin meninggalkan semua perangai burukku, Ustad! Aku sudah benar-benar muak dengan perangaiku sendiri.” Jawab Arul saat seorang anggota jamaah bertanya padanya tentang alasan mengapa dia ingin bergabung. Anggota jamaah yang menjadi lawan bicara Arul itu biasa dipanggil ustad karena dia adalah anggota senior dalam jamaah.
“Jika kau benar-benar ingin bertaubat, segeralah bergabung! Insyaallah kau akan mendapatkan ketenangan. Kau menginginkan ketenangan itu segera bukan? Jangan menunda waktu lagi, Allah menyukai hamba-nya yang menyegerakan diri untuk bertaubat.”
Arul mengangguk, kata-kata ustad itu benar-benar dapat membasahi ruang hatinya yang telah lama kering dari embun-embun spiritual. Harapan Arul untuk dapat merubah diri menjadi lebih baik menyeruak dari dalam hatinya. Indahnya harapan itu mengembang melalui bibirnya, berwujudkan sebuah senyuman. Seperti anak-anak yang mendapatkan kembali mainannya yang telah lama hilang, begitulah kira-kira kebahagian Arul saat itu.
“Kami akan pindah ke masjid kampung sebelah, Masjid An-Nur, dua hari lagi. Ikutlah dengan kami! Jika kau ikut, disana kita akan bertemu dengan banyak jamaah lain yang juga satu aliran dengan kita.” Seseorang yang duduk disamping kanan sang ustad mengajak Arul untuk benar-benar dapat bergabung. Alghifari nama orang itu.
***
Sehari menjelang keberangkatan Arul menuju masjid An-Nur bersama jamaah, berita miring dan cemoohan tak henti-hentinya memenuhi telinga Arul. Entah siapa yang pertama kali membuat berita itu namun berita itu seolah merambat dengan kecepatan cahaya. Arul sampai tak habis pikir mengapa kali ini dirinya yang menjadi sasaran keganasan mulut orang-orang kampung padahal kemarin sewaktu menemui jamaah, Arul telah hampir memastikan bahwa hanya Allah sajalah yang menyaksikan dirinya berjalan menuju masjid. Namun Arul tak mau ambil pusing lagi dengan semua ini. Harapan untuk dapat merubah diri menjadi lebih baik telah membuat telinganya tuli dari segala cemoohan dan berita miring. Arul telah membulatkan tekadnya.
Di masjid An-Nur, jamaah Arul bergabung dengan jamaah yang telah lebih dahulu datang dari pulau jawa. Inilah jamaah yang disebut Alghifari tempo hari. Jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh orang sementara jamaah Arul hanya berjumlah sepuluh orang, itupun termasuk dirinya. Mereka saling bersalaman semut, bersalaman sambil menempelkan pipi. Sebagai anggota baru Arul masih canggung melakukannya namun dia memaksakan diri juga akhirnya. Alghifari yang bertindak sebagai juru bicara lansung mengenalkan Arul pada semua jamaah saat mereka semua sudah duduk melingkar dalam masjid. Alghifari berdiri.
“Assalamu’alaikum...Ikhwan sekalian, perkenalkan ini adalah Akhi Arul. Akhi ini baru saja bergabung dengan jamaah kita dua hari yang lalu. Kita doakan semoga Akhi Arul dapat istiqomah membantu kita di jalan dakwah ini.” Suara Alghifari yang lantang membuat semua jamaah mengaminkan semua kata-katanya. Namun apa yang terjadi pada anggota jamaah yang baru itu, Arul? Arul sedikit tersengat mendengar kata “dakwah” yang meluncur dengan mudah saja dari mulut Alghifari. Kata itu masih menjadi momok dalam otak Arul, sewaktu pertama kali menyatakan diri untuk bergabung dengan jamaah, Arul tak pernah mendengar kata dakwah bahkan untuk satu kalipun. Lalu apa yang menyebabkan Arul seolah menelan biji kedondong? Arul kembali teringat pada dialog dengan ibunya sebulan yang lalu.
***
Sebulan yang lalu...
“Tadi ibu pengajian, Rul. Kata pak kyiai, berdakwah untuk orang yang sudah punya agama itu tidak boleh. ”
“Lalu apa lagi kata pak kyiai, bu?” Tanya Arul penasaran.
“Kita harus berhati-hati, jangan mudah percaya dengan kelompok yang menamakan dirinya kelompok dakwah. Terkadang mereka seringkali bersembunyi di balik topeng dakwah itu.”
“Memang apa yang mereka sembunyikan?”
“Yah...Terorisme! Atau bisa juga aliran sesat!” Arul tak bertanya lagi, rasa penasarannya menguap pada kalimat terakhir ibunya.
***
Dialog singkat itu kembali berputar-putar dalam kepala Arul. Ingin rasanya dia segera bertanya pada Alghifari. Namun hati kecilnya melarangnya untuk bertanya. Disimpannya saja ganjalan kecil itu. Arul tak ingin merusak suasana hatinya yang sudah mulai nyaman bergabung dengan jamaah.
Kegiatan Arul dan jamaah sejak berdiam di masjid an-nur adalah shalat wajib dan sunat, puasa sunat, zikir, doa dan diselingi ceramah-ceramah singkat. Selama tiga hari menjalani semua ibadah itu, Arul mulai merasakan kembali ada sedikit sesuatu yang hilang dari dalam hatinya. Arul berusaha untuk tak mengindahkan perasaan itu. Dia menghibur hatinya dengan berdiskusi berbagai persoalan bersama Alghifari.
Mengapa begitu banyak perbedaan dalam agama kita, Far?” Tanya Arul pada Alghifari mengawali diskusinya.
Perbedaan macam apa yang kau maksud?” Tanya Alghifari
Tidak pernahkah engkau berpikir, mengapa tak semua orang beribadah seperti kita?” Arul mengembalikan pertanyaan itu pada Alghifari. Namun Alghifari menjawab dengan tenang dan yakin seperti guru yang sudah sering ditanya oleh muridnya dengan pertanyaan yang sama.
Itulah tugas kita rul, tugas kita adalah menyadarkan semua orang bahwa seharusnya mereka beribadah seperti kita, ibadah seperti kitalah yang benar karena berlandaskan pada hadits nabi. Itulah yang disebut dengan dakwah. Itulah yang dilakukan nabi dahulu.” Arul sebenarnya ingin bertanya banyak pada Alghifari namun Alghifari begitu piawai menutup celah pada bibir Arul untuk kembali terbuka. Alghifari dengan lemah lembut berkata:
Sudah, jangan terlalu dipusingkan hal itu! Sekarang tugas kita disini adalah ibadah dan ibadah, perbanyaklah ibadah selagi Allah memberikan kita kesempatan untuk beribadah!” Alghifari tersenyum, dia seakan tak peduli pada sikap kritis Arul.
***
Arul terbangun dari tidurnya. Arul mengucek matanya dan segera mengangkat tubuhnya yang masih terasa berat itu. Dia melihat semua jamaah sedang khusyuk memanjatkan doa di dalam masjid. Terdengar sayup-sayup bacaan doa dalam bahasa arab dari mulut para jamaah. Mereka membaca doa sambil meneteskan air mata. Tapi Arul tak melihat ketulusan yang dalam dari air mata itu, bagi Arul, air mata mereka seperti dipaksakan saja keluarnya.
Setelah berwudhu, Arul kembali masuk masjid dan menunaikan shalat tahajjud. Arul menutup qiyamul lail-nya dengan membaca doa berbahasa arab yang sudah ia hafalkan selama tiga hari ini. Dia mencoba menangis layaknya jamaah lain.  Namun bukan air mata yang dia dapatkan melainkan tanda tanya besar. Mengapa aku mesti membaca doa yang aku sendiri tidak tahu maknanya? Apakah harus membaca doa dalam  bahasa arab? Apakah ajaran nabiku tak membolehkan umatnya untuk membaca doa dalam bahasa bangsa mereka masing-masing? Bagaimana mungkin aku menangis dengan sepenuh hati sementara aku tak mengerti apa yang aku tangisi?
Hati Arul bertambah resah setelah pertanyaan itu muncul. Belum lagi di tambah diskusi yang tak selesai dengan Alghifari tadi siang. Namun tak mungkin dia membangunkan jamaah lain dari kekhusyukan berdoa, hanya untuk memuaskan hatinya yang dirundung pertanyaan dan ketidakpuasan itu. Hati Arul terganjal lagi.
***
Waktu menuju zuhur, arul duduk termenung di beranda masjid. Alghifari menghampirinya.
“Apakah nabi mewajibkan umatnya untuk berdoa dalam bahasa arab?”
Alghifari terdiam sejenak, tak lansung menjawab pertanyaan arul. Air mukanya sedikit berubah mendengar pertanyaan arul namun dia berusaha menguasai keadaan.
“Bahasa arab adalah bahasa yang paling mulia di dunia ini, Alquran berbahasa arab. Shalat memakai bahasa arab…”
“Tapi bukankah Tuhan mengerti semua bahasa? Apakah tadi malam sewaktu berdoa kau juga menangis? Mengertikah kau apa yang yang kau tangisi?” Tanya arul memotong. Lidah Alghifari kelu tak dapat menjawab. Arul meneruskan.
“Beberapa hari ini aku tak mendapatkan apa-apa selain bahasa arab. Bahasa yang justru membatasi aku dengan Tuhanku. Aku berzikir namun tak mengerti apa yang aku gumamkan. Aku berdoa namun tak mengerti apa yang aku minta dalam doaku. Aku tak mau zikir dan doaku sekedar menjadi gumaman. Bukan ini yang sebenarnya aku cari.”
“Kau berani menentang ajaran nabi?...” kalimat Alghifari tercekat karena arul kali ini lebih berani memotongnya.
“Aku tak pernah menentang nabi atau Tuhan namun aku yakin ada sesuatu yang harus kita pikirkan lebih dalam dari semua ibadah yang kita lakukan beberapa hari ini. Aku harus pergi mencari semua itu, jika memang perlu aku harus keluar dari jamaah ini.”
Siang itu arul memutuskan untuk pulang ke rumah dan mencoba mencari jalan lain. Jalan lain untuk menjawab beberapa keresahan yang mulai timbul. Dia merasa perlu untuk berpetualang menjawab keresahan itu.